:::..Islam Untuk Semua..:::
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

:::..Islam Untuk Semua..:::

Komunitas Muslim Intelektual
 
IndeksPencarianLatest imagesPendaftaranLogin

 

 Metodologi Kritik Hadits Syiah

Go down 
PengirimMessage
qitaro_86
Mahasiswa



Male Jumlah posting : 5
Age : 37
Registration date : 30.08.07

Metodologi Kritik Hadits Syiah Empty
PostSubyek: Metodologi Kritik Hadits Syiah   Metodologi Kritik Hadits Syiah Icon_minitimeSun Sep 09, 2007 6:24 pm

Metodologi Kritik Hadits Syiah
Oleh Muh. Syahda al bugisy

PENDAHULUAN

Al-Sunnah adalah salah satu sumber tasyri penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir al-Quran, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Quran sendiri. Itulah sebabnya,di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting untukmenjaga dan mengawali pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi. Mereka misalnya- menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadits dapat diterima (dengan derajat shahih ataupunhasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia tidak syadz atau mansukh misalnya.

Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.Di samping Ahl al-Sunnah sebagai salah satu kelompok Islam terbesar-, ternyata Syiah Imamiyah sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar- juga memiliki perhatian khusus terhadap al-Sunnah. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima al-Sunnah yang berbeda dengan sanad dan sumber Ahl al-Sunnah. Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah Imamiyah memiliki pengertian tersendiri tentang al-Sunnah. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian memunculkan perbedaan antara Ahl al-Sunnah dengan mereka dalam persoalan keaqidahan maupun kefikihan

Oleh karena itu, tentu menjadi menarik untuk mengetahui lebih jauh metodologi khas Syiah Imamiyah dalam melakukan kritik hadits. Dan itulah yang secara singkat akan dibahas dalam tulisan ini.


Definisi al-Sunnah Menurut Syiah Imamiyah

Sebagaimana telah disinggung, Syiah Imamiyah memiliki batasan dan definisi tersendiri tentang al-Sunnah. Intinya, al-Sunnah menurut mereka adalah Perkataan, perbuatan dan taqrir dari al-Maâshum. Dan al-Maâshum dalam pandangan Syiah Imamiyah tidak hanya terbatas di kalangan para nabi dan rasul. Para imam mereka juga termasuk dalam kategori ini. Bahkan pada sebagian kelompok ekstrem Syiah, ada memandang bahwa kedudukan para imam jauh berada di atas para nabi dan rasul kecuali Rasulullah saw.

Muhammad Ridha al-Muzhaffar salah seorang ulama kontemporer Syiah- menjelaskan, Al-Sunnah menurut kebanyakan fuqahaâ adalah perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi¦Akan tetapi menurut (Syiah) Imamiyah setelah meyakini bahwa perkataan al-Maâshum dari kalangan Ahl al-Bait setingkat dengan perkataan Nabi saw sebagai sebuah hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba- memperluas batasan al-Sunnah menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Maâshum (dari Ahl al-Bait). Sehingga al-Sunnah dalam terminologi mereka adalah âperkataan, perbuatan dan
taqrir al-Maâshum.

Rahasia di balik itu semua adalah karena para imam dari kalangan Ahl al-Bait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka tsiqah dalam periwayatannya. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Taâala melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari Allah Taala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham seperti Nabi melalui jalur wahyu-, atau melalui periwayatan (imam) maâshum sebelumnya.

Berdasarkan ini, maka penjelasan mereka terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan al-Sunnah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyriâ, akan tetapi karena merekalah sumber hukum (tasyriâ) itu sendiri.Penjelasan ini menunjukkan bahwa perkataan para imam yang maâshum, baik yang diperoleh melalui jalur ilham atau jalur lainnya (dikenal dengan istilah ilmu hadits) maupun yang diriwayatkan dan diwariskan dari imam maâshum sebelumnya dari Rasulullah (ilmu mustaudaâ), termasuk dalam bagian al-Sunnah yang kedudukannya sederajat dengan al-Sunnah yang berasal dari Rasulullah saw.

Bahkan lebih dari itu, Syiah Imamiyah juga meyakini bahwa tidak ada perbedaan antara perkataan yang diucapkan sang imam saat ia masih kanak-kanak maupun yang diucapkannya pada usia kematangan akalnya. Sebab, -menurut mereka- para imam itu tidak mungkin melakukan kesalahan, sengaja ataupun tidak, sepanjang hayat mereka. Itulah sebabnya, salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan,Sesungguhnya keyakinan akan kemaâshuman para imam telah membuat hadits-hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw, sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahl al-Sunnah.

Ini karena perkataan para imam itu adalah perkataan Allah, perintah mereka adalah perintah Allah, ketaatan pada mereka adalah ketaatan pada Allah, kedurhakaan pada mereka adalah kedurhakaan pada Allah. Mereka itu tidak mungkin berbicara kecuali dari Allah dan wahyu-Nya.

Mereka juga meyakini bahwa ilmu mustaudaâ yang melalui jalur pewarisan dari imam maâshum sebelumnya itu terbagi menjadi dua (1) kitab-kitab yang mereka warisi dari Rasulullahdan (2) ilmu yang mereka terima secara lisan dari beliau saw. Pembagian ini kemudian mengantarkan kita untuk memahami inti aqidah mereka dan merupakan rukun penting agama mereka-, yaitu bahwa Rasulullah saw hanya menyampaikan sebagian syariat dan menyembunyikan yang lainnya untuk kemudian dititipkan kepada Imam Ali. Ali radhiayyallahu anhu kemudian memperlihatkan sebagiannya semasa ia hidup, dan menjelang kematiannya barulah ia menitipkannya kepada al-Husain, putranya. Demikianlah seterusnya, setiap imam memperlihatkan sebagian warisan itu sesuai kebutuhan zamannya, hingga akhirnya mata rantai keimamahan itu berakhir pada sang imam yang dinanti (al-Muntazhar). Dengan
demikian, pengetahuan tentang keshahihan dan kelemahan sebuah hadits dalam pandangan Syiah Imamiyah- harus melalui jalur para

imam yang maâshum. Selain dari mereka tidak mungkin melakukan itu, meskipun ia adalah seorang alim yang berilmu tinggi. Al-Sunnah al-Nabawiyah bagaimanapun juga- membutuhkan imam yang maâshum untuk menjelaskan mana yang shahih, dan menyingkirkan yang palsu.

Satu catatan penting yang harus ditegaskan di sini adalah bahwa Syiah Imamiyah telah mempersempit cakupan al-Sunnah dengan batasan yang mereka yakini. Berdasarkan definisi dan penjelasan ulama mereka tentang al-Sunnah, maka periwayatan al-Sunnahdalam madzhab Syiah- hanya dimungkinkan melalui jalur Ahl al-Bait. Dan itupun tidak semua Ahl al-Bait, sebab hanya yang mempunyai predikat maâshum saja yang dapat melakukannya. Dan itu berarti hanya terbatas pada para imam yang dua belas saja, dan bahwa yang pernah bertemu Rasulullah saw dari mereka hanyalah Ali radhiyallahu anhu.

Pertanyaannya adalah apakah Amirul muâminin, Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu anhu sanggup menyampaikan seluruh al-Sunnah itu kepada semua generasi, padahal ia tidak menyertai Rasulullah saw di setiap waktu Bukankah Rasulullah saw pernah melakukan perjalanan jauh, lalu menugaskan Ali sebagai khalifahâ nya di Madinah seperti dalam perang Tabuk- Bukankah Ali juga pernah melakukan perjalanan jauh, sementara Rasulullah tinggal di Madinah Belum lagi apa yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga Nabi saw, sangat tidak mungkin Ali mengikuti semua itu.

Kita juga mengetahui dari sejarah bahwa Islam menyebar ke berbagai wilayah, dan penyebaran itu tidak melalui jalur Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, menjadi sangat sulit dipahami pernyataan mereka yang menyatakan bahwa Rasulullah saw hanya menyampaikan ilmu itu (baca risalah Islam) kepada seorang pria yang termasuk Ahl al-Bait beliau.
Di samping itu, ada hal lain yang sangat kontradiktif dalam pernyataan para ulama Syiah. Seperti diketahui dalam definisi mereka tentang al-Sunnah, bahwa perkataan para imam Syiah itu memiliki kedudukan yang sama dengan perkataan Nabi saw. Sebab para imam itu juga menerima ilmu dari Allah melalui jalur ilham, sebagaimana Nabi menerimanya dari jalur wahyu. Tapi Imam al-Shadiq dan Imam al-Ridha dua diantara imam mereka- seringkali mengatakan,

Sesungguhnya kami tidak pernah berfatwa kepada manusia berdasarkan pendapat kami sendiri. Sesungguhnya jika kami berfatwa kepada manusia dengan pendapat kami sendiri, niscaya kami akan termasuk orang yang binasa. Namun (kami memberi fatwa kepada mereka) berdasarkan atsar-atsar dari Rasulullah saw, yang kami wariskan dari generasi ke generasi. Kami menyimpannya seperti manusia menyimpan emas dan perak mereka.

Pernyataan ini sebagaimana pernyataan-pernyataan beberapa tokoh Syiah lainnya- menunjukkan bahwa menurut mereka- para imam itu tidak lebih sebagai perawi dari Rasulullah saw. Tentu saja ini kontradiktif dengan penjelasan ulama Syiah lainnya bahwa para imam itu memang benar-benar diangkat oleh Allah untuk menyampaikan hukum Allah langsung yang diperoleh melalui jalur ilham, bukan sekedar menerimanya dari imam maâshum sebelumnya.
Kembali Ke Atas Go down
 
Metodologi Kritik Hadits Syiah
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Metodologi Kritik Hadits Syiah
» Metodologi Penulisan Ushul
» EPISTEMOLOGI GERAKAN ANTI HADITS
» syiah dan rasionalisme

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
:::..Islam Untuk Semua..::: :: Kajian Turats :: Hadits dan Ilmu Hadits-
Navigasi: