:::..Islam Untuk Semua..:::
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

:::..Islam Untuk Semua..:::

Komunitas Muslim Intelektual
 
IndeksPencarianLatest imagesPendaftaranLogin

 

 Diskursus Hadis di Jerman

Go down 
PengirimMessage
muh syahda
Duktur
Duktur



Male Jumlah posting : 27
Age : 41
Registration date : 30.08.07

Diskursus Hadis di Jerman Empty
PostSubyek: Diskursus Hadis di Jerman   Diskursus Hadis di Jerman Icon_minitimeTue Sep 11, 2007 9:37 am

Oleh Kamaruddin Amin


Studi hadis di Barat dimulai oleh sarjana Jerman Alois Sprenger (w. 1893) yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otentisitas hadis. Kemudian diamini oleh William Muir yang juga memiliki sikap skeptis yang sama. Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher menulis bukunya Muhammedanische Studien, yang merupakan buku kritik hadis terpenting pada abad kesembilan belas.

Orang Arab sedang menikmati kelezatan intelektual pada saat orang Kristen di Barat sedang bergelimang dalam kehidupan barbarisme. Demikian kata Carra De Vaue yang dikutip oleh Arnold Alfred dalam Legacy Of Islam, Oxford 1931. Dapat dipahami dari remark diatas bahwa orang Arab yang notebene adalah orang Islam pernah menikmati kejayaan intelektual dan keagungan peradaban yang terlukis indah dalam sejarah dunia. Mereka mendirikan universitas dan tempat-tempat penelitian ilmiah yang menarik perhatian para sarjana dari berbagai pelosok dunia.

Akan tetapi setelah keruntuhan Bagdad pada tahun 1258, mereka mulai kehilangan roh dan independensi intelektualnya. Mereka larut dalam keagungan warisan intelektual pendahulunya tanpa upaya kritik, apalagi improvisasi. Buku-buku dan manuskrip berharga peninggalan generasi sebelumnya dibiarkan tak terbaca dan dimakan oleh cacing dan ulat, sampai pemerhati ilmiah dari Barat datang untuk mengamankannya.

Para orientalis ini datang dan mengumpulkan manuscrip dari berbagai tempat di dunia Islam, kemudian menyimpannya dengan sangat rapi di perpustakaan-perpustakaan mereka. Mereka juga mempelajari dan bahkan menerbitkannya di negara mereka. Sebagai hasilnya, berdirilah jurusan Arab dan studi Islam di Heidelberg (Universitas tertua di Jerman) pada tahun 1585, dengan tujuan utama mempromosikan manuskrip-manuskrip yang telah dikumpulkan dari berbagai dunia Islam. Sampai sekarang, hampir semua perguruan tinggi di Jerman memiliki jurusan Islamswissenschaft (studi Islam). Dari jurusan-jurusan tersebut lahirlah sejumlah sarjana sekaliber Gustav Weil (1808-1889), Alois Sprenger (1813-1893), JulliusWellhausen (1844-1918), Teodor N?oeldeke (1836-1930), August Fisher (1865-1949), Brockelmann (w. 1956) dll. Mereka telah memberikan kontribusi luar biasa dalam studi Islam, meskipun tidak semua pengkaji Islam sempat menikmati karya mereka.

Perpustakaannya yang lengkap dan kualifikasi para akademisinya yang tidak diragukan turut mengundang perhatian para pemerhati studi Islam di Nusantara. Hingga sekarang, terdapat sekitar delapan dosen IAIN (empat diantaranya telah menjadi alumni) dari seluruh Indonesia sedang melakukan semedi intelektual di berbagai perguruan tinggi di Jerman. Bukan hanya Alquran, studi hadispun dilakukan di negara ini.

Studi hadis di Barat dimulai oleh sarjana Jerman Alois Sprenger (w. 1893) yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otentisitas hadis. Kemudian diamini oleh William Muir yang juga memiliki sikap skeptis yang sama. Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher menulis bukunya Muhammedanische Studien, yang merupakan buku kritik hadis terpenting pada abad kesembilan belas. Ia menolak hadis sebagai sumber informasi pada masa nabi Muhammad, melainkan hanya sumber berharga untuk mengetahui peta konflik dan informasi generasi yang datang kemudian. Goldziher diikuti oleh L. Caetani, Henri Lammens, John Wonsbrough, Patricia Crone dan Michael Cook. Dalam kesarjanaan Islam di Barat buku dan tesis Goldziher, yang terbit pada tahun 1890, tidak mengalami revisi signifikan sampai Joseph Schacht menerbitkan bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence pada tahun 1950. Ia membahas secara khusus hadis hukum dan perkembangannya. Tesisnya adalah bahwa isnad cenderung membesar, jumlah perawi semakin membengkak pada generasi belakangan (proliferation of isnad) dan mundur kebelakang, perawi cendrung menyandarkan riwayatnya kepada generasi sebelumnya (projection back). Teori common link nya mempengaruhi sarjana yang datang sesudahnya. Seperti Goldziher, ia berpendapat bahwa sangat sedikit, kalaupun ada, hadis yang berasal dari nabi. Namun demikian, ia percaya bahwa dengan studi mendalam dan kritis kita bisa sampai pada kesimpulan tentang kapan sebuah hadis tertentu diedarkan. Metode Schacht diadopsi oleh Joseph van Ess dan dikembangkan dalam skala besar oleh G. H. A. Juynboll.

Meskipun buku Goldziher dan Schacht dianggap karya monumental yang menginspirasi studi hadis di Barat, hal itu tidak membuatnya luput dari kritik. Sarjana Islam seperti Fuat Sezgin, Mustafa Azami dan Mustafa al-Sibai telah melakukan kritik tajam terhadap semua tesis dan premis-premisnya. Sezgin dan Azami berpendapat bahwa para sahabat nabi telah menulis hadis nabi dan kegiatan transmisi hadis dilakukan secara tertulis sampai hadis-hadis tersebut dikodifikasi pada abad ketiga hijriah.

Kritik sejarah adalah tugas yang tidak pernah berhenti. Para sarjana Islam seperti Sezgin dan Azmi, pengkritik Goldziher dan Schacht, kini kembali diserang secara metodologis yang tentu berpengaruh pada kesimpulan tentang otentisitas dan otoritas hadis sebagai sumber hukum dan norma Islam. Serangan metodologis tersebut datang dari G. H. A. Juynboll, sarjana asal Belanda yang telah menghabiskan separoh dari umurnya untuk meneliti hadis. Ia menganggap Sezgin dan Azami telah menggunakan sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan historisitasnya, sehingga semua premis dan kesimpulannya tertolak. Dari hasil semedi hadis yang dilakukannya, ia kemudian membuat sejumlah teori sebagai bagian dari metode penelitian hadis yang ia lakukan selama kurang lebih 30 tahun. Muncullah istilah spider, single strand, diving, partial common link, common link dan argumentum e silentio, yang dua terakhir ia kembangkan dari Schacht. Kesimpulan saya, ia tidak percaya akan adanya satu hadispun yang bisa dipertanggungjawabkan historisitasnya. Ia menganggap metode verifikasi hadis yang diterapkan selama ini oleh sarjana Islam tidak reliable (thiqa) untuk menentukan otentisitas hadis.

Haruskah studi serius tersebut ditolak secara a-priori karena kesimpulan-kesimpulannya secara fundamental merugikan Islam? Bagi saya, yang menarik bukan kesimpulannya, tapi mengapa ia sampai pada kesimpulan itu, alias metodologinya. Menggunakan metode yang sama tidak harus sampai pada kesimpulan yang sama. Di sinilah menariknya belajar hadis di sarang orientalis. Sepanjang pengamatan penulis, belum ada seorangpun sarjana Islam yang memberikan tanggapan serius terhadap metode dan sejumlah premis Juynboll, baik dari Timur Tengah maupun dari dunia Islam yang lain.

Walhasil, studi hadis di Barat berbeda secara fundamental dari studi hadis di tempat lain seperti di Timur Tengah dan Indonesia. Kalau di Timur Tengah dan Indonesia studi hadis menekankan pada bagaimana melakukan takhri-j hadis untuk menentukan otentisitasnya, maka studi hadis di Barat menekankan bagaimana melakukan dating (penanggalan) hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang allegedly terjadi pada masa awal Islam. Mempelajari metodologi kedua kecenderungan tersebut akan semakin memperkaya metodologi kita, yag pada gilirannya akan semakin memungkinkan kita untuk mengungkap kenyataan sejarah kehidupan Nabi. Namun demikian kritik Orientalis terhadap metodologi penelitian hadis yang, oleh sebagian besar sarjana Islam, dianggap sudah mapan menunggu respon dari sarjana Islam. Tentu naif menolak satu tradisi intelektual secara a-priori tanpa mengetahui esensi tradisi tersebut. Tantangan buat kita semua.[]

Kamaruddin Amin, Kandidat Doktor Bonn University, Germany
Kembali Ke Atas Go down
 
Diskursus Hadis di Jerman
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» DISKURSUS MAQASHID AL-SYARIAH DALAM PERSPEKTIF IBNU TAIMIYA

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
:::..Islam Untuk Semua..::: :: Kajian Turats :: Hadits dan Ilmu Hadits-
Navigasi: